Tinjauan
Kefilsafatan tentang Manusia
Menurut
tinjaun kefilsafatan manusia adalah makhluk yang bertanya, dalam hal ini
manusia sebagai makhluk yang mempertanyakan dirinya sendiri dan keberadaannya
serta mempertanyakan dirinya sendiri dan keberadaannya serta kosnous secara
menyeluruh. Dalam hal ini manusia mulai tau keberadaannya dan menyadari bahwa
dirinya penanya.
Apabila
kita tinjau dari segi dayanya, maka jelaslah bahwa manusia memiliki dua macam
daya. Di satu pihak manusia memiliki daya untuk mengenal dunia rohani, yang
nous, suatu daya intuitip, yang karena kerjasama dengan akal menjadikan manusia
dapat memikirkan serta membicarakan hal-hal yang rohani. Di lain pihak manusia
memiliki daya pengamatan, yang karena pengamatan langsung dapat menjadikan manusia
memiliki pengetahuan yang berdasarkan pengamatannya.
Tinjauan kefilsafatan tentang manusia di
atas menitikberatkan kepada dayanya, akan tetapi pandangan Philo yang
mempertemukan filsafat Helinisme dengan agama Yahudi lebih menitikberatkan
kepada aspek lain. Hal ini tampak jelas dalam pandangannya bahwa dalam
strukturnya manusia adalah gambar alam semesta. Kebijakan diungkapkan dalam
tiga tingkatan, yaitu:
a)
Apatheia (tiada perasaan), dimana orang
melepaskan diri dari segala hawa nafsu dan dari segala yang bersifat bendani,
serta mematikan segala keinginan rasa, segala kecenderungan dan hawa nafsu.
b)
Kebijaksanaan, adalah suatu karunia
Ilahi yang diarahkan kepada yang susila atau kesalahan.
c)
Ekstase, yaitu menenggelamkan diri ke
dalam yang Ilahi.
Pemikiran
Philo besar sekali pengaruhnya bagi pemikiran filsafat berikutnya terutama yang
menyangkut masalah manusia. Hal ini dapat kita lihat dalam pemikiran Plotinos
yang menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah kembali dipersatukannya
manusia dengan yang “Ilahi”. Menurut Plotinos, jalan kembali atau remansi ini
bertahap atau bertingkat-tingkat, sama dengan apa yang diajarkannya tentang
remansi atau pengaliran keluar. Jalan kembali terdiri dari segi tahap, yaitu
melakukan kebijakan umum, berfilsafat dan mistik.
Philo
maupun Plotinus meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang manusia secara
kefilsafatan yang berdampingan dengan pandangan agama. Tradisi pemikiran
seperti ini dapat pula kita lihat dalam masa patristik Barat yang lebih nyata
dalam pemikiran Aurelius Augustinus. Dalam hal ini ditegaskan bahwa dasar
penciptaan dunia adalah akal dan hikmat Allah. Di dalam akal Allah terdapat
gagasan-gagasan Ilahi atau idea-idea Ilahi.
Sama
halnya dengan dunia, manusia juga berpartisipasi dengan idea-idea Ilahi. Akan
tetapi pada manusia partisipasi ini tidak halnya terjadi secara pasif,
melainkan juga dilaksanakan secara aktif, yaitu di dalam suatu pengenalan yang
penuh kasih, dengannya manusia melaluli para makhluk naik agar sampai kepada
pengakuan terhadap Allah. Demikianlah oleh Augustinus kasih dan pemikirannya
dihubungkan secara harmonis.
Pandangan
Leibniz dapat dirumuskan bahwa manusia adalah suatu kumpulan monade, yang
karena keselarasan yang ditentukan sebelumnya telah dihubungkan oleh suatu
“ikatan substansi”. Ikatan substansi adalah suatu asas metafisi yang ada di
dalam segala sesuatu, yang harus dibedakan dengan monade, dan yang tidak
tergantung kepada monade. Menurut tubuhnya manusia termasuk monad yang pertama,
menurut nafsu dan perasaannya ia termasuk monade kedua, akan tetapi menurut
jiwanya ia termasuk monade ketiga.
Pemikiran
para filsuf tentang manusia terus berkembang. Akan tetapi di dalam perkembangan
tersebut tidak dapat disimpulkan tentang tenalitasnya, terutama yang menyakut
kesempurnaan pemikirannya. Perkembangan pemikiran tentang manusia menunjukkan
adanya upaya yang terus-menerus untuk menemukan hakikat manusia. Hal ini
berarti ingin dicapai pengertian yang mendalam dan radikal tentang manusia.
Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar