Jumat, 26 Juni 2015

Pragmatisme dan Filsafat Hidup



Pragmatisme dan Filsafat Hidup

Dalam perkembangan berikutnya muncul tokoh di Amerika yang lahir pada tahun 1842, yaitu William James. Pemikiran yang dicetuskannya adalah aliran atau paham yang menitik beratkan bahwa kebenaran ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis. Tokoh lain dalam paham ini adalah John Dewey dan F. C. S. Schiller.
Bagi Willian James (1842-1910) pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan keliru. Kebenaran itu sifat pengertian atau putusan bukanlah sifat halnya. Pengertian atau putusan itu benar, tidak saja jika dibuktikan artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak (dapat dipergunakan) dalam lingkungan ilmu, seni dan agama. Bukunya yang terkenal ialah Pragmatisme (1907).
Tokoh ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam pemikiran psikologi. Dalam bidang ini ia berhasil membantah pemikiran lama tentang kesadaran. Di dalam filsafat menurut James, akal dengan segala perbuatannya dilakukan oleh perbuatan. Akal dan segala perbuatannya itu hanya berfungsi sebagai pemberi informasi bagi praktek hidup dan sebagai pembuka jalan baru bagi perbuatan-perbuatan kita. Segara akal telah memberi informasi serta telah membuka jalan baru bagi perbuatan kita, kita mendapatkan suatu keyakinan sementara, yang disebut dengan “kepercayaan”, yang merupakan persiapan langsung yang kita perlkan bagi perbuatan.
Di dalam bukunya “The Meaning of Truth”, atau “arti kebenaran” James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang bersifat umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu tiada kebenaran yang mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Seperti yang telah dikembangkan, akal atau pemikiran mendapat tujuan dalam perbuatan. Selain itu pemikiran dapat juga menyesuaikan diri dengan tuntutan kehendak dan tututan perbuatan. Hal ini mengakibatkan dari apa yang diperlukan oleh pengalaman kita, sesuai dengan kemauan kita sendiri. Jadi sebagian dari dunia ini adalah hasil kita sendiri. Dunia bukanlah sesuatu yang telah selesai, melainkan sesuatu yang terus-menerus menjadi seperti halnya dengan pemikiran kita adalah sesuatu arus yang mengalir., suatu sistem perhubungan-perhubungan.
Pemikiran James tersebut sejalan dengan Dewey. Bagi John Dewey (1859-1952) tidak ada sesuatu yang tetap. Manusia itu bergerak dalam kesungguhan yang selalu berubah. Jika ia dalam pada itu mengalami kesulitan, maka mulai lah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan masalah itu. Maka dari itu berpikir tidaklah lain pada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Kebenarannya hanya dapat ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kesungguhan. Dalam pendidikan pun Dewey banyak pengaruhnya.
Dalam pandangan ini maka benar ialah apa yang pada akhirnya disetujui oleh semua oarng yang menyelidikinya. Kebenaran ditegaskan dalam istilah-istilah penyelidikan. Kebenaran sama sekali bukan hal yang ditentukan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah.
Mengenal adalah berbuat. Kadar kebenarannya akan tampak dari pengujinya oleh pengalaman-pengalaman di dalam praktek. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode induktif. Metode ini bukan hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan sosial dan moral. Sedangakan filsafat hidup dipelopori oleh Henri Bergson (1859-1941). Menurut Bergson hidup adalah tenaga eksplosif yang telah ada sejak permulaan dunia, kemudian terus berkembang dengan penentangan materi. Pandangan Bergson dalam hal ini memang agak rumit untuk dipahami.
Bergson meyakini adanya evaluasi yang dipandangnya sebagai suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi semua kesadaran, semua hidup, semua kenyataan dimana di dalam perkembangannya senantiasa menciptakan bentuk-bentuk yang baru dengan menghasilkan kekayaan baru pula. Akan tetapi evolusi dalam pandangan Bergson tidak terikat kepada keharusan sebagaimana keharusan yang terdapat dalam hukum konsolitas yang mekanis.


Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta

Aliran Positivisme



Aliran Positivisme

Paham ini muncul di Prancis yang dipelopori oleh Auguste Comte (1798-1857). Menurutnya untuk menciptakan masyarakat baru yang serba teratur, maka perlu adanya perbaikan jiwa atau budi terlebih dahulu. Menurut Comte pemikiran atau jiwa atau budi manusia berkembang dalam tiga tahap atau zaman: zaman teologis, zaman ontologis atau metafisis dan zaman positivistis.
Tingkat pertama adalah tingkat teologi, yang menerapkan segala-segalanya pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat, tingkat kedua ialah tingkat metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatunya melalui abstraksi, tingkat yang ketiga ialah tingkatan positif yang hanya menghiraukan yang sungguh-sungguh serta sebab-akibat yang sudah tertentukan.
Pada masa Comte haruslah mengabdikan ilmu yang disebut positif. Di samping matematika, fisika, dan biologi dalam ilmu kemasyarakatan pun semangat positif ini harus dimasukkan. Apa-apa yang tidak positif  itu akan dapat kita alami dan dalam pada itu baiklah orang mengatakan bahwa ia tidak tahu saja.
Dengan demikian pada prinsipnya zaman postif adalah zaman ketika orang tahu, tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan teologis, maupun pengenalan metafisis. Ia tidak mau melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum dalam 3 zaman atau tidak tahap ini bukan hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi setiap orang sendiri-sendiri. Di samping itu hukum 3 zaman ini berlaku di bidang ilmu pengetahuan sendiri. Segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikeruhkan oleh pemikiran metafisis, dan akhirnya tiba di zaman hukum-hukum positif yang cerah. Mengenai ilmu pengetahuan diajarkan demikian, bahwa pengaturan ilmu pengetahuan yang berarti harus disesuaikan dengan pembagian kawasan gejala-gejala atau penampakan-penampakan yang dipelajari ilmu itu.
Paham ini tidak hanya besar pengaruhnya di bidang filsafat, akan tetapi juga besar pengaruhnya di bidang ilmu-ilmu yang lain. Dalam hal ini terbukti Comte menjadi besar pengaruhnya dalam sosiologi. Pengaruh positivisme tampak pula dalam ilmu jiwa, logika, sejarah dan kesusilaan.


Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta

Aliran Tomisme



Aliran Tomisme

Nama aliran atau paham ini disandarkan kepada Thomas Aquinas salah seorang tokoh Skolastik Barat yang hidup pada tahun 1225-1275 M. Ada yang berpendapat bahwa Thomas hanya menyesuaikan kepada Aristoteles dengan ajaran Katolik. Hal demikian ini tidaklah betul. Ia memang mempergunakan ajaran Aristoteles benar-benar, tetapi sebaliknya ia menyusun sistem yang berlainan dari sistem Aristetoles. Barang siapa sungguh-sunguuh mempelajari sifat Thomas akan tidak keberatan apabila menyebut aliran ini “tomisme”.
Warisan buku Thomas amatlah banyak dan sampai sekarang juga masih dipelajari orang dan malahan menjadi pedoman dalam aliran yang masih banyak penganutnya. Dalam tulisannya Thomas memajukan pendapat-pendapatnya tentang teologi, maupun tentang filsafat. Dikatakannya bahwa 2 hal ini merupakan ilmu yang berdaulat sepenuhnya. Kedaulatan budi diakui sepenuhnya oleh Thomas.
Dalam paham ini meliputi cabang filsafat ontologi, antropologi, etika, dan cabang-cabang lain yang penting. Di bidang ontologi Thomas memberikan lima bukti, yaitu:
a.              Adanya gerak di dunia mengharuskan kita menerima bahwa ada Penggerak Pertama yaitu Allah. Menurut Thomas, apa yang bergerak tentu digerakkan oleh sesuatu yang lain. Seandainya sesuatu yang digerakkan itu menggerakkan diri sendiri, maka yang menggerakkan diri sendiri itu harus digerakkan oleh sesuatu yang lain lagi. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas.
b.             Di dalam dunia yang diamati ini terdapat suatu tata tertib sebab yang membawa hasil atau berdayaguna tidak pernah ada sesuatu yang diamati, yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya sendiri. Karena seandainya ada, hal yang menghasilkan dirinya sendiri itu tentu harus mendahului dirinya sendiri. Hal ini tidak mungkin, sebab yang berdayaguna yang menghasilkan dirinya sesuatu yang lain itu, juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya.
c.              Di dalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”. Oleh karena itu semuanya tidak ada dengan sendirinya tetapi diadakan, dan oleh karena itu semua itu juga dapat menjadi rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau semuanya itu “tidak ada”. Tidak mungkin, bahwa semuanya itu senantiasa ada. Sebab apa yang mungkin “tidak ada” pada suatu waktu memang tidak ada. Oleh karena itu segala sesuatu memang mungkin “tidak ada”, maka mungkin pada suatu waktu mungkin saja tidak ada sesuatu.
d.             Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang benar, dan lain sebagainya. Apa yang disebut kurang baik atau lebih baik, itu tentu disebabkan dengan sesuatu yang menyerupainya., yang dipakai sebagai tolak ukur. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang terbaik. Jadi apabila ada yang kurang baik, yang baik atau yang lebih baik, semuanya mengharuskan adanya yang terbaik.
e.              Kita menyaksikan, bahwa segala sesuatu yang tidak seperti umpamanya; tubuh alamiah, berbuat menuju kepada akhirnya. Hal ini tampak dari caranya segala sesuatu yang tidak berakal tadi berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik. Dari situ tampak jelas, bahwa tidak hanya kebetulan saja semuanya itu mencapai akhirnya, tetapi memang dibuat begitu.
Paham tomisme ini muncul pada abad pertengahan terutama pada masa Skolastik, setelah memasuki abad modern baru muncul paham-paham seperti rasionalisme, empirisme, dan kritisme.


Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta

Beberapa Paham tentang Manusia



Beberapa Paham tentang Manusia

Pandangan tentang manusia di dalam pemikiran filsafat berkisar pada empat kelompok besar yaitu:
a)                  a. Materialisme
b. Idealisme
c)                  c. Rasionalisme
d)                 d. Irrasionalisme
Materialisme telah diawali sejak filsafat Yunani yakni sejak munculnya filsuf alam yunani, kemudia kaum Stoa dan Epikurisme. Paham ini mulai memuncak pada abad ke-19 di Eropa. Materialisme eksteim memandang bahwa manusia adalah terdiri dari materi belaka.
Pandangan Lamettrie (1709-1751) sebagai pelopor materialisme menyebutkan bahwa manusia tidak lain daripada binatang, binatang tak berjiwa, material belaka, jadi manusia pun material belaka. Maka dibuktikanlah, bahwa yang disebut jiwa itu dalam tindakan yang sebenarnya tergantung kepada material, sedangkan badan atau material dapat bertindak tanpa jiwa.
Materialisme ini dalam antropologia disebut materialisme ekstrim, karena aliran ini mengingkari kerohanian dalam bentuk apa pun juga, malahan mengingkari adanya pendorong hidup. Aliran ini sama sekali tidak memperdulikan adanya sifat-sifat jasmani belaka. Walaupun pada mulanya materialisme ini banyak pengaruhnya, akan tetapi dalam kalangan filsafat tidak lama pengaruh itu. Materialisme ini dianggap hanya lari dari keterangan dan tidak dapat menjawab soal penting yang mau tidak mau disadari manusia.
Kebalikan dari materalisme adalah idealisme. Kalau pandangan materialisme didasarkan atas material, jadi yang berubah-ubah dan tidak kekal, yang hilang sesudah hidup ini hilang, sedangkan pandangan idelisme terhadap manusia memangkalkannya kepada yang umum, yang tidak berubah-ubah, abadi, yang masih terus ada sesuadah hidup ini habis.
Menurut pandangan umum Plato dunia bermacam-macam yang berlaku juga bagi manusia, jiwa manusia sebelum ada di dunia ini adalah di dunia idea dan di sana adalah sebelum manusia ada di dunia. Hanya karena sesuatu hal jiwa yang turun ke dunia pengamatan ini dan bersatu dengan badan seperti ada dalam penjara atau kurungan.
Bagi Neoplatinisme satu-satunya realitas ialah idea yang tertinggi Yang Esa. Segala sesuatunya di dunia pengamatan itu, pun manusia, tidak lain dari pancaran Yang Esa. Tugas manusia haruslah ia kembalikan kepada asal mulanya. Manusia sejati adalah manusia yang bersatu dengan Tuhan, kebahagiaannya terdiri dari kesatuannya dengan Tuhan. Dari renungannya neoplatinisme memang sampai kepada paham serba Tuhan.
Dalam idealisme terdapat beberapa corak, yaitu: idealisme etis, idealisme estetis, dan idelisme Hegel. Idealisme yang terakhir ini memandang bahwa manusia itu pada dasarnya adalah penjelmaan ide dalam alam sebagai penjelmaan tertinggi. Penjelmaan tersebut melalui beberapa fase roh mutlak.
Paham rasionalisme dan irrasionalisme bukanlah merupakan dua paham yang saling bertentangan seperti materialisme dan idealisme. Pelopor rasionalisme adalah Rere Descarles yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia itu terdiri dari jasmaninya dengan keluasannya serta budi dengan kesadarannya.
Paham rasionalisme merupakan pandangan yang berdasarkan atas rasio atau sekurang-kurangnya amat mementingkan arti rasio dalam kemanusiaan, sedangkan paham irrasionalisme belum tentu mengingkari rasio atau mengabaikan adanya rasio itu serta artinya bagi manusia. Yang dimaksud dengan pandangan manusia yang irrasionalistis itu ialah pandangan-pandangan:
a)                 a. Yang mengingkari adanya rasio
b)                 b. Yang kurang menggunakan rasio walaupun tidak mengingkarinya
c)            c. Terutama pandangan yang mencoba mendekati manusia dari lain pihak serta kalau dapat dari keseluruhan pribadinya.
Jadi, penggolongan filsafat manusia dalam rasionalisme-irrasionalisme bukanlah penggolongan idelisme-materialisme melainkan hanya pandangan dari sudut lain. Dengan demikian semua aliran materalisme harus dimasukkan ke dalam inarionalisme. Hal ini dapat dibuktikan dalam gagasan-gagasannya mengenai manusia.


Sumber:
Sudarsono, Drs. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta