Pendidikan Berbasis Masyarakat
A. Konsep
Pendidikan Berbasis Masyarakat
PBM pada dasarnya dikembangkan dan
dilaksanakan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat
itu sendiri. Melalui lembaga-lembaga PBM, masyarakat berupaya untuk memperbaiki
kehidupannya secara terus-menerus melalui pemberdayaan dengan sarana pendidikan
dan pelatihan. Dari sini kemudian berkembang model-model atau bentuk PBM.
Beberapa contoh dari lembaga PBM adalah TKA/TPA, lembaga kursus yang dikelola
masyarakat, pesantren, dan sebagainya.
Dalam PBM masyarakatlah yang menjadi tuan atau
pemilik di rumahnya sendiri. Pihak lain dalam hal ini pemerintah hanya bisa
menjadi mitra atau rekan yang berfungsi untuk memfasilitasi, mendanai, atau
mendampingi segala kegiatan yang ada kaitannya dengan PBM, tanpa ada unsur
memaksakan kepentingan.
PBM
merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang dalam masyarakat
untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur
hidup. PBM merupakan wujud dari demokratisasi pendidikan melalui perluasan
pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Masyarakat mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan dan memberdayakan dirinya sendiri melalui
pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat. Pada aspek tertentu PBM hanya
dapat eksis dan berjalan dengan baik manakala suasana kehidupan yang demokratis
telah tumbuh dan berkembang dengan baik serta masyarakat mampu dan memiliki
kesadaran pentingnya pemberdayaan.
Dalam konteks kepemilikan, PBM dianggap sebagai
berbasis masyarakat jika segala hal yang terkait di dalamnya berada di tangan
masyarakat, seperti perencanaan hingga pelaksanaan. Sebaliknya, jika semua
penyelenggaraan pendidikan ditentukan pemerintah maka disebut pendidikan
berbasis pemerintah atau negara (state-based education) atau jika semuanya
ditentukan oleh sekolah maka disebut pendidikan berbasis sekolah (school-based
education). Dalam konteks Indonesia, PBM menurut Nielsen merujuk pada
pengertian yang beragam yaitu:
1. Peran serta masyarakat
dalam pendidikan.
2. Pengambilan
keputusan yang berbasis sekolah.
3. Pendidikan
yang diberikan oleh sekolah swasta atau yayasan.
4. Pendidikan
dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan milik swasta.
5. Pendidikan
luar sekolah yang disediakan oleh pemerintah.
6. Pusat
kegiatan belajar masyarakat.
7. Pendidikan
luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput seperti LSM dan
pesantren.
Konsep PBM menurut Umberto Sihombing adalah dari
masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat atau pendidikan yang
berada di masyarakat, untuk menjawab kebutuhan belajar masyarakat, dikelola
oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat, dan
menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar
maupun bermasyarakat. Adapun definisi umum PBM adalah pendidikan yang
sebagian besar keputusan-keputusannya dibuat oleh masyarakat. Jadi, PBM lebih
banyak melibatkan peran masyarakat daripada pemerintah.
B. Tujuan
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Tujuan PBM biasanya mengarah pada isu-isu masyarakat
seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, pendidikan dasar,
pendidikan keagamaan, penangan masalah kesehatan, dan sebagainya. Tujuan PBM
hakikatnya adalah pemberdayaan masyarakat ke arah yang lebih baik demi terwujudnya
masyarakat yang unggul dalam segala bidang. Melalui PBM, masyarakat
diberdayakan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pemberdayaan dan
pendidikan ini berlangsung terus-menerus dan seumur hidup (long life
education).
Sementara implikasi PBM terhadap masyarkat itu
sendiri adalah
1. Masyarakat diberdayakan,
2. Masyarakat diberi peluang
untuk mengembangkan kemampuan, dan
3. Masyarakat diberi
kebebasan mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola, dan menilai diri.
Menurut
E. Muyasa hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain sebagai
berikut:
1. Memajukan kualitas pembelajaran dan
pertumbuhan anak.
2. Memperkukuh tujuan serta meningkatkan
kualitas hidup dan penghidupan masyarakat.
3. Menggairahkan masyarak untuk menjalin
hubungan dengan sekolah.
Masyarakat melalui PBM akan mampu mengembangkan
potensi dan kemampuannya ke arah perubahan. PBM menjadi model dalam
pemberdayaan masyarakat yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
C. Peran dan Relasi Pemerintah dan Masyarakat
dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Peran pemerintah atau hubungan antara pemerintah dan
masyarakat dalam PBM hendaknya didasarkan pada hubungan kemitraan (partnership)
artinya pemerintah tidak lebih dari sekedar pelayan, fasilitator, pendamping,
mitra, dan penyandang dana bagi PBM. Dengan hubungan seperti ini pemerintah
tidak mendominasi, memonopoli, dan sebagainya atas lembaga pendidikan yang
berbasis masyarakat.
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh
aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis
masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah: peran sebagai pelayan masyarakat,
peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan
peran sebagai penyandang dana.
1. Pelayan Masyarakat
Dalam mengembangkan pendidikan berbasis
masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu
masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara
optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri
sebagai pelayan yang cepat tanggap, cepat memberikan perhatian, tidak
berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai
fokus pelayanan utama.
2. Fasilitator
Pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang
ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu
menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan
peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan
masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa
masyarakat merasa terbebani.
3. Pendamping
Masyarakat
Pemerintah menjadi pendamping masyarkat yang setiap
saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas
masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam
membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan
yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka
dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan
diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani
(mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi
penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun
karsa (bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai
pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat (Ing ngarso sung
tulodo).
4. Mitra
Apabila kita berangkat dari konsep pemberdayaan yang
menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai
mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar,
setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin
tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai
mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung
dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan
yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan
kreativitas masyarakat.
5. Penyandang
Dana
Pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang
dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu
maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar
untuk hidup dalam arti bermata pencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan
modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan
sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan
sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang
diperlukan oleh masyarakat.
Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol
dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang
pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut
bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan
di sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep
manajemen berbasis sekolah. Karena itulah gagasan tentang perlunya sebuah
Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah
yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi
kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah,
kepala sekolah dan para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah
secara substansial akan bertanggung jawab
kepada komite tersebut.
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian
dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan
pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat
yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah
lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas
sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Dewan pendidikan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan
pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang
tidak mempunyai hubungan hirarkis. Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di
tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi
tanggungjawab komitesekolah/madrasah.
Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala
sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada
pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen. Selama ini Komite Sekolah
memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk
mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu
tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan
bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus
menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi
masyarakat pada sekolah.
Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan
melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini
sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah
mulai tidak jelas sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu
sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan
mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di
usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai
dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3)
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor
0293/U/1993 juga perlu disesuaikan dengan nuansa dan paradigma perkembangan
pendidikan nasional. Karena itu, Komite Sekolah yang baru ini adalah gabungan
peran dari Komite Sekolah JPS, Organisasi Orang Tua Siswa dan BP3. komite
Sekolah yang baru ini bertujuan membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan
di sekolah dalam upaya ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan
mengembangkan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu
saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya dalam mendayagunakan
kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya,
termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi
komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan
aparat sekolah dan pemerintahan. Keanggotaan Komite Sekolah adalah orang tua
siswa, tokoh masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin
juga perwakilan-perwakilan dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada.
Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai
tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah
pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan
memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan
estetika, kreativitas, dan kompetensi perseorangan.
Lingkungan sekolah bukanlah isolasi dari lingkungan
sekitarnya, tetapi merupakan lingkungan yang seharusnya terintregrasi kedalam
lingkungan yang sudah ada. Karena lingkungan sekolah berada dalam konteks
sosial sebagai elemen yang penting dalam komunitas lokal dan sangat bergantung
pada masyarakat dari segi dukungan dan pendanaan (Garton ,1976:
343).Selanjutnya lingkunan akan mengevaluasi pengurus sekolah dalam pengelolaan
kebijaan dan penyelenggaraan dana. Demikian pula pengaruh sekolah terhadap
akselerasi informasi kepada orang tua dan kontak individu senantiasa dimonitor
oleh masyarakat.Karena faktor itulah administrasi dan manajemen di lembaga
pendidikan perlu dikembangkan untuk mendapatkan pemahaman yang bagus dan
penyusunan kompetensi efektifitas hubungan masyarakat di lembaga pendidikan.
Selanjutnya, Gorton menjelaskan hal yang berkenaan
dengan hubungan masyarakat yang perlu dikelola oleh sekolah yaitu memahami
masyarakat. Bagian atau pejabat hubungan masyarakat di sekolah perlu memahami
situasi daerah dan penduduk lingkungan lembaga tersebut, termasuk lingkungan
individu.selam membangun hubungan komunikasi dengan masyarakat, maka pengelola
manajemen humas di lembaga pendidikan juga membutuhkan dukungan untuk memahami
dan mengembangan hubungan masyarat yang bagus.
D. Pendidikan
Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembelajaran
PBM lebih berorientasi pada keterlibatan atau peran
masyarakat dalam pendidikan yang dikelolanya.Untuk mengaitkannya dengan
pembelajaran yakni dalam konteks teori pembelajaran, PBM dapat mengakomodasi
berbagai teori-teori pembelajaran. Teori kecerdasan majemuk (multiple
intteligence), belajar sosial (social learning), dan sebagainya, dapat
diterapkan dalam PBM.
Hal-hal yang terkait dengan PBM dalam konteks
pembelajaran adalah sebagai berikut
1. Proses belajar terjadi
secara spontan dan alamiah,
2. Belajar dengan melakukan
(learning by doing) dan belajar berbasis pengalaman (experience-based
learning),
3. Melibatkan aktivitas
mental dan fisik,
4. Belajar berbasis kompetensi
(competence-based learning),
5. Pemecahan masalah (problem
solving),
6. Berlangsung dalam
interaksi aktif dalam lingkungan,
7. Aktualisasi diri,
8. Menyenangkan dan
mencerdaskan, dan
9. Produktif.
Hal-hal tersebut di atas tidaklah mutlak semuanya
ada dalam PBM yang dikembangkan oleh masyarakat, karena masyarakat memiliki
kecenderungan dan kebutuhan yang berbeda-beda dalam upaya memberdayakannya
dirinya. Di satu sisi masyarakat mungkin mengembangkan PBM yang beorientasi
pada pengembangan kemampuan (skill), sementara di sisi lain masyarakat juga
mungkin mengembangkan pendidikan yang beorientasi pada pengembangan intelektual
dan moral.
E. Kendala
dalam Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis
Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah:
1.
Sistem perencanaan, pengangguran dan
pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah
(top down).
2.
Kurangnya kepercayaan pemerintah
terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
3.
Sikap Birokrat yang belum mampu
membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
4.
Karakteristik kebutuhan belajar
masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih
turun dari atas dan bersifat standar.
5.
Sikap masyarakat dan juga pola pikir
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat
kebutuhan badani / kebendaan.
6.
Budaya menunggu pada sebagian besar
masyarakat kita.
7.
Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh
masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti
birokrat.
8.
Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang pendidikan masih kurang.
9.
Keterbatasan anggaran, sarana prasarana
belajar, dan tenaga kependidikan.
10. Egoisme
sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang
kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan
berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya
masing-masing.
F. Beberapa Contoh Lembaga Pendidikan Berbasis
Masyarakat
Ada beberapa contoh yang dapat dijadikan model dalam
konteks PBM yakni pesantren dan lembaga kursus yang dikelola oleh masyarakat.
Lembaga-lembaga ini merepresentasikan model PBM. Lembaga-lembaga yang dimaksud
akan diuraikan secara ringkas berikut ini.
Pertama,
adalah pesantren. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam
Indoensia merupakan bentuk nyata dari PBM. Dalam sistem dan lingkup pesantren
segala dilaksanakan dan diselengggrakan oleh semua pihak di pesantren tersebut.
Kyai sebagai sentral dalam pesantren merupakan representasi dari masyarakat
yang memiliki otoritas dan wewenang untuk mengatur segala hal dalam
pesantrennya bersama para pengurus (yayasan). Struktur yang ada dalam pesantren
tidak dibangun dari basis pemerintah melainkan dari kepentingan masyarakat itu
sendiri. Manajemen, kurikulum, pembiayaan, metode, dan sebagainya dikembangkan
sendiri oleh pesantren tanpa campur tangan dari pemerintah. Pemerintah dalam
hal ini hanya sebagai pengawas dan secara struktural membawahi pesantren.
Kedua, selain pesantren, contoh PBM di sini adalah
lembaga-lembaga kursus yang diselenggarakan oleh masyarakat seperti kursus
bahasa Inggris di daerah kecamatan Pare kabupaten Kediri-Jawa Timur. Dalam
lembaga-lembaga pendidikan tersebut, semua penyelenggaraan mulai dari
perencanaan hingga evaluasi, murni merupakan inisiatif dari masyarakat (pemilik
dan pengelola lembaga kursus).
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar