Senin, 04 Januari 2016

Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pendidikan Berbasis Masyarakat

A.  Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
       PBM pada dasarnya dikembangkan dan dilaksanakan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Melalui lembaga-lembaga PBM, masyarakat berupaya untuk memperbaiki kehidupannya secara terus-menerus melalui pemberdayaan dengan sarana pendidikan dan pelatihan. Dari sini kemudian berkembang model-model atau bentuk PBM. Beberapa contoh dari lembaga PBM adalah TKA/TPA, lembaga kursus yang dikelola masyarakat, pesantren, dan sebagainya.
Dalam PBM masyarakatlah yang menjadi tuan atau pemilik di rumahnya sendiri. Pihak lain dalam hal ini pemerintah hanya bisa menjadi mitra atau rekan yang berfungsi untuk memfasilitasi, mendanai, atau mendampingi segala kegiatan yang ada kaitannya dengan PBM, tanpa ada unsur memaksakan kepentingan.
PBM merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang dalam masyarakat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. PBM merupakan wujud dari demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengembangkan dan memberdayakan dirinya sendiri melalui pendidikan yang dikembangkan oleh masyarakat. Pada aspek tertentu PBM hanya dapat eksis dan berjalan dengan baik manakala suasana kehidupan yang demokratis telah tumbuh dan berkembang dengan baik serta masyarakat mampu dan memiliki kesadaran pentingnya pemberdayaan.
Dalam konteks kepemilikan, PBM dianggap sebagai berbasis masyarakat jika segala hal yang terkait di dalamnya berada di tangan masyarakat, seperti perencanaan hingga pelaksanaan. Sebaliknya, jika semua penyelenggaraan pendidikan ditentukan pemerintah maka disebut pendidikan berbasis pemerintah atau negara (state-based education) atau jika semuanya ditentukan oleh sekolah maka disebut pendidikan berbasis sekolah (school-based education). Dalam konteks Indonesia, PBM menurut Nielsen merujuk pada pengertian yang beragam yaitu:
1.    Peran serta masyarakat dalam pendidikan.
2.    Pengambilan keputusan yang berbasis sekolah.
3.    Pendidikan yang diberikan oleh sekolah swasta atau yayasan.
4.    Pendidikan dan pelatihan yang diberikan oleh pusat pelatihan milik swasta.
5.    Pendidikan luar sekolah yang disediakan oleh pemerintah.
6.    Pusat kegiatan belajar masyarakat.
7.    Pendidikan luar sekolah yang diberikan oleh organisasi akar rumput seperti LSM dan pesantren.
Konsep PBM menurut Umberto Sihombing adalah dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat atau pendidikan yang berada di masyarakat, untuk menjawab kebutuhan belajar masyarakat, dikelola oleh masyarakat dengan memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat, dan menekankan pentingnya partisipasi masyarakat pada setiap kegiatan belajar maupun bermasyarakat. Adapun definisi umum PBM adalah pendidikan yang sebagian besar keputusan-keputusannya dibuat oleh masyarakat. Jadi, PBM lebih banyak melibatkan peran masyarakat daripada pemerintah.

B.  Tujuan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Tujuan PBM biasanya mengarah pada isu-isu masyarakat seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, pendidikan dasar, pendidikan keagamaan, penangan masalah kesehatan, dan sebagainya. Tujuan PBM hakikatnya adalah pemberdayaan masyarakat ke arah yang lebih baik demi terwujudnya masyarakat yang unggul dalam segala bidang. Melalui PBM, masyarakat diberdayakan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pemberdayaan dan pendidikan ini berlangsung terus-menerus dan seumur hidup (long life education).
Sementara implikasi PBM terhadap masyarkat itu sendiri adalah
1.    Masyarakat diberdayakan,
2.    Masyarakat diberi peluang untuk mengembangkan kemampuan, dan
3.    Masyarakat diberi kebebasan mendesain, merencanakan, membiayai, mengelola, dan menilai diri.
Menurut E. Muyasa hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain sebagai berikut:
1.    Memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan anak.
2.    Memperkukuh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat.
3.    Menggairahkan masyarak untuk menjalin hubungan dengan sekolah.

Masyarakat melalui PBM akan mampu mengembangkan potensi dan kemampuannya ke arah perubahan. PBM menjadi model dalam pemberdayaan masyarakat yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat.

C.   Peran dan Relasi Pemerintah dan Masyarakat dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Peran pemerintah atau hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam PBM hendaknya didasarkan pada hubungan kemitraan (partnership) artinya pemerintah tidak lebih dari sekedar pelayan, fasilitator, pendamping, mitra, dan penyandang dana bagi PBM. Dengan hubungan seperti ini pemerintah tidak mendominasi, memonopoli, dan sebagainya atas lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat.
Beberapa peran yang diharapkan dapat dimainkan oleh aparat pemerintah dalam menata dan memantapkan pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat menurut Sihombing, U. 2001 adalah: peran sebagai pelayan masyarakat, peran sebagai fasilitator, peran sebagai pendamping, peran sebagai mitra dan peran sebagai penyandang            dana.
1.    Pelayan Masyarakat 
       Dalam mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat seharusnya pemerintah memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Melayani masyarakat, merupakan pilar utama dalam memberdayakan dan membantu masyarakat dalam menemukan kekuatan dirinya untuk bisa berkembang secara optimal. Pemerintah dengan semua aparat dan jajarannya perlu menampilkan diri sebagai pelayan yang cepat tanggap, cepat memberikan perhatian, tidak berbelit-belit, dan bukan minta dilayani. Masyarakat harus diposisikan sebagai fokus pelayanan utama. 
2.    Fasilitator 
Pemerintah seharusnya merupakan fasilitator yang ramah, menyatu dengan masyarakat, bersahabat, menghargai masyarakat, mampu menangkap aspirasi masyarakat, mampu membuka jalan, mampu membantu menemukan peluang, mampu memberikan dukungan, mampu meringankan beban pekerjaan masyarakat, mampu menghidupkan komunikasi dan partisipasi masyarakat tanpa masyarakat merasa terbebani.
3.   Pendamping Masyarakat
Pemerintah menjadi pendamping masyarkat yang setiap saat harus melayani dan memfasilitasi berbagai kebutuhan dan aktivitas masyarakat. Kemampuan petugas sebagai teman, sahabat, mitra setia dalam membahas, mendiskusikan, membantu merencanakan dan menyelenggarakan kegiatan yang dibutuhkan masyarakat perlu terus dikembangkan. Sebagai pendamping, mereka dilatih untuk dapat memberikan konstribusi pada masyarakat dalam memerankan diri sebagai pendamping. Acuan kerja yang dipegangnya adalah tutwuri handayani (mengikuti dari belakang, tetapi memberikan peringatan bila akan terjadi penyimpangan). Pada saat yang tepat mereka mampu menampilkan ing madya mangun karsa (bila berada di antara mereka, petugas memberikan semangat), dan sebagai pendamping, petugas harus dapat dijadikan panutan masyarakat (Ing ngarso sung tulodo).
4.   Mitra
Apabila kita berangkat dari konsep pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai subjek, maka masyarakat harus dianggap sebagai mitra. Hubungan dalam pengambilan keputusan bersifat horizontal, sejajar, setara dalam satu jalur yang sama. Tidak ada sifat ingin menang sendiri, ingin tampil sendiri, ingin tenar/populer sendiri, atau ingin diakui sendiri. Sebagai mitra, pemerintah harus dapat saling memberi, saling mengisi, saling mendukung dan tidak berseberangan dengan masyarakat, tidak terlalu banyak campur tangan yang akan menyusahkan, membuat masyarakat pasif dan akhirnya mematikan kreativitas masyarakat. 
5.   Penyandang Dana
Pemerintah harus memahami bahwa masyarakat yang dilayani pada umumnya adalah masyarakat yang kurang mampu, baik dalam ilmu maupun ekonomi. Belajar untuk belajar bukan menjadi tujuan, tetapi belajar untuk hidup dalam arti bermata pencaharian yang layak. Untuk itu diperlukan modal sebagai modal dasar untuk menerapkan apa yang diyakininya dapat dijadikan sebagai sumber kehidupan dari apa yang sudah dipelajarinya. Pemerintah berperan sebagai penyedia dana yang dapat mendukung keseluruhan kegiatan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat. 
Partisipasi masyarakat sebagai kekuatan kontrol dalam pelaksanaan berbagai program pemerintah menjadi sangat penting. Di bidang pendidikan partisipasi ini lebih strategis lagi. Karena partisipasi tersebut bisa menjadi semacam kekuatan kontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah-sekolah. Apalagi saat ini Depdiknas mulai menerapkan konsep manajemen berbasis sekolah. Karena itulah gagasan tentang perlunya sebuah Komite Sekolah yang berperan sebagai semacam lembaga yang menjadi mitra sekolah yang menyalurkan partisipasi masyarakat (semacam lembaga legislatif) menjadi kebutuhan yang sangat nyata dan tak terhindarkan. Dengan adanya komite sekolah, kepala sekolah dan para penyelenggara serta pelaksana pendidikan di sekolah secara substansial akan bertanggung jawab kepada      komite tersebut. 
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan. Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab      komitesekolah/madrasah. 
Kalau selama ini garis pertanggungjawaban kepala sekolah dan penyelenggara pendidikan di sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah, dalam hal ini kepada Dirjen Dikdasmen. Selama ini Komite Sekolah memang telah dibentuk oleh Pemerintah, tetapi perannya terbatas hanya untuk mengawasi dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Komite Sekolah yang baru ini tentu tidak terbatas hanya untuk mengawasi dana JPS saja, melainkan juga berperan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, berfungsi untuk terus menjaga transparansi dan akuntabilitas sekolah, serta menyalurkan partisipasi masyarakat pada sekolah. 
Tentu saja Komite Sekolah ini mesti diawali dengan melakukan upaya optimalisasi organisasi orang tua siswa di sekolah. Upaya ini sangat penting lagi di saat keadaan budaya dan gaya hidup generasi kita sudah mulai tidak jelas sekarang ini. Dengan adanya upaya ini jalinan antara satu sisi, orang tua, dan di sisi lain sekolah, bisa bersama-sama mengantisipasi dan mengarahkan serta bersama-sama meningkatkan kepedulian terhadap anak-anak di usia sekolah. Dengan demikian, pendidikan menjadi tanggung jawab bersama mulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah. 
Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0293/U/1993 juga perlu disesuaikan dengan nuansa dan paradigma perkembangan pendidikan nasional. Karena itu, Komite Sekolah yang baru ini adalah gabungan peran dari Komite Sekolah JPS, Organisasi Orang Tua Siswa dan BP3. komite Sekolah yang baru ini bertujuan membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah dalam upaya ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan nasional. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut tentu saja Komite Sekolah mesti melakukan berbagai upaya dalam mendayagunakan kemampuan yang ada pada orang tua, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, termasuk LSM-LSM yang memiliki concern di bidang pendidikan. Agar independensi komite ini tetap terjaga, maka tampaknya keanggotaan tidak lagi memasukkan aparat sekolah dan pemerintahan. Keanggotaan Komite Sekolah adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, pakar dan pengamat pendidikan, LSM-LSM, dan mungkin juga perwakilan-perwakilan dari organisasi masyarakat dan pemuda yang ada.
Hal-hal yang dapat didukung orang tua dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Sergiovanni dalam Sagala, S., 2004 adalah pengembangan kecintaan untuk belajar, pemikiran kritis dengan kecakapan memecahkan masalah, apresiasi atau penghargaan estetika,         kreativitas,       dan      kompetensi     perseorangan.
Lingkungan sekolah bukanlah isolasi dari lingkungan sekitarnya, tetapi merupakan lingkungan yang seharusnya terintregrasi kedalam lingkungan yang sudah ada. Karena lingkungan sekolah berada dalam konteks sosial sebagai elemen yang penting dalam komunitas lokal dan sangat bergantung pada masyarakat dari segi dukungan dan pendanaan (Garton ,1976: 343).Selanjutnya lingkunan akan mengevaluasi pengurus sekolah dalam pengelolaan kebijaan dan penyelenggaraan dana. Demikian pula pengaruh sekolah terhadap akselerasi informasi kepada orang tua dan kontak individu senantiasa dimonitor oleh masyarakat.Karena faktor itulah administrasi dan manajemen di lembaga pendidikan perlu dikembangkan untuk mendapatkan pemahaman yang bagus dan penyusunan kompetensi efektifitas hubungan masyarakat di lembaga pendidikan.
Selanjutnya, Gorton menjelaskan hal yang berkenaan dengan hubungan masyarakat yang perlu dikelola oleh sekolah yaitu memahami masyarakat. Bagian atau pejabat hubungan masyarakat di sekolah perlu memahami situasi daerah dan penduduk lingkungan lembaga tersebut, termasuk lingkungan individu.selam membangun hubungan komunikasi dengan masyarakat, maka pengelola manajemen humas di lembaga pendidikan juga membutuhkan dukungan untuk memahami dan mengembangan hubungan masyarat yang bagus.
                                             
D.  Pendidikan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembelajaran
PBM lebih berorientasi pada keterlibatan atau peran masyarakat dalam pendidikan yang dikelolanya.Untuk mengaitkannya dengan pembelajaran yakni dalam konteks teori pembelajaran, PBM dapat mengakomodasi berbagai teori-teori pembelajaran. Teori kecerdasan majemuk (multiple intteligence), belajar sosial (social learning), dan sebagainya, dapat diterapkan dalam PBM.
Hal-hal yang terkait dengan PBM dalam konteks pembelajaran adalah sebagai berikut
1.    Proses belajar terjadi secara spontan dan alamiah,
2.    Belajar dengan melakukan (learning by doing) dan belajar berbasis pengalaman (experience-based learning),
3.    Melibatkan aktivitas mental dan fisik,
4.    Belajar berbasis kompetensi (competence-based learning),
5.    Pemecahan masalah (problem solving),
6.    Berlangsung dalam interaksi aktif dalam lingkungan,
7.    Aktualisasi diri,
8.    Menyenangkan dan mencerdaskan, dan
9.    Produktif.
Hal-hal tersebut di atas tidaklah mutlak semuanya ada dalam PBM yang dikembangkan oleh masyarakat, karena masyarakat memiliki kecenderungan dan kebutuhan yang berbeda-beda dalam upaya memberdayakannya dirinya. Di satu sisi masyarakat mungkin mengembangkan PBM yang beorientasi pada pengembangan kemampuan (skill), sementara di sisi lain masyarakat juga mungkin mengembangkan pendidikan yang beorientasi pada pengembangan intelektual dan moral.        
E.  Kendala dalam Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kendala dalam mengimplementasikan Pendidikan Berbasis Masyarakat menurut Sagala, S., 2004 adalah:
1.         Sistem perencanaan, pengangguran dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah masih dari atas ke bawah (top down).
2.         Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan atau kekuatan energi masyarakat.
3.         Sikap Birokrat yang belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan. 
4.         Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat yang sangat beragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar.
5.         Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju pada hal-halyang bersifat kebutuhan badani / kebendaan. 
6.         Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita. 
7.         Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering berperilaku seperti birokrat. 
8.         Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang. 
9.         Keterbatasan anggaran, sarana prasarana belajar, dan tenaga kependidikan. 
10.     Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing. 

F.    Beberapa Contoh Lembaga Pendidikan Berbasis Masyarakat
Ada beberapa contoh yang dapat dijadikan model dalam konteks PBM yakni pesantren dan lembaga kursus yang dikelola oleh masyarakat. Lembaga-lembaga ini merepresentasikan model PBM. Lembaga-lembaga yang dimaksud akan diuraikan secara ringkas berikut ini.
Pertama, adalah pesantren. Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam Indoensia merupakan bentuk nyata dari PBM. Dalam sistem dan lingkup pesantren segala dilaksanakan dan diselengggrakan oleh semua pihak di pesantren tersebut. Kyai sebagai sentral dalam pesantren merupakan representasi dari masyarakat yang memiliki otoritas dan wewenang untuk mengatur segala hal dalam pesantrennya bersama para pengurus (yayasan). Struktur yang ada dalam pesantren tidak dibangun dari basis pemerintah melainkan dari kepentingan masyarakat itu sendiri. Manajemen, kurikulum, pembiayaan, metode, dan sebagainya dikembangkan sendiri oleh pesantren tanpa campur tangan dari pemerintah. Pemerintah dalam hal ini hanya sebagai pengawas dan secara struktural membawahi pesantren.
Kedua, selain pesantren, contoh PBM di sini adalah lembaga-lembaga kursus yang diselenggarakan oleh masyarakat seperti kursus bahasa Inggris di daerah kecamatan Pare kabupaten Kediri-Jawa Timur. Dalam lembaga-lembaga pendidikan tersebut, semua penyelenggaraan mulai dari perencanaan hingga evaluasi, murni merupakan inisiatif dari masyarakat (pemilik dan pengelola lembaga kursus).



Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar