Asal-Usul Jakarta
Asal kota Jakarta:
Kota Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai
Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini
berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai.
Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota
bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu
bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di
pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan
rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota
ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah
kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa.
Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada
22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota
Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian
menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia
yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun
membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan
pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500
meter dari bandar.
Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan
kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia
berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan
lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat
kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini
dinamakan Weltevreden.
Pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tahun 1966, Jakarta
memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia.
Jakarta pun mendapat julukan “Kota
1001 Nama” karena banyaknya perubahan nama. Berikut adalah kronologi singkat
perubahan-perubahan nama “Jakarta” :
·
Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa
sebagai pelabuhan Kerajaan Sunda (Pajajaran)
· 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti
nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota
Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956)
·
4 Maret 1621 oleh Belanda untuk
pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
·
1 April 1905 berubah nama menjadi
‘Gemeente Batavia’
·
8 Januari 1935 berubah nama menjadi
Stad Gemeente Batavia
·
8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah
namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi
·
September 1945 pemerintah kota
Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
· 20 Februari 1950 dalam masa
Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
·
24 Maret 1950 diganti menjadi Kota
Praj’a Jakarta.
·
18 Januari 1958 kedudukan Jakarta
sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya.
· Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun
1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Raya.
· Pada tanggal 31 Agustus 1964 dengan
UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap
sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
·
Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun
1999 tentang pemerintah provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik
Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah
provinsi DKI Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan
bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah DKI Jakarta dibagi menjadi 6 (5
wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif kepulauan seribu).
Usul untuk
kota Jakarta:
· Kota Jakarta harus
dapat memiliki pusat oleh-oleh sehingga orang yang hanya punya waktu singkat
cukup mngunjungi tempat itu saja dan sudah mempunyai buah tangan untuk keluarga
atau temannya. Ini juga pasti akan membantu ekonomi masyarakat Jakarta.
· Melihat penduduk yang
tinggal di bedeng-bedeng sederhana atau yang sangat tidak layak di pinggiran
kali Jakarta, sebenarnya pemerintah dan masyarakat punya pilihan yang lebih
manusiawi, namun sifatnya sangat mendasar yakni mengubah pola tinggal.
Pemerintah Jakarta dapat membangun beberapa “apartemen” untuk menampung
orang-orang yang selama ini tinggal di bedeng-bedeng (slum). Mungkin bentuk dan
fasilitasnya perlu diseragamkan; misalnya semuanya mempunyai 30 lantai, dan
tidak boleh orang yang tinggal di sana memiliki kendaraan.
· Pendidikan sosial pun
sangat dibutuhkan agar para penghuninya bisa hidup tenang. Mungkin perlu
ditanamkan bahwa hidup di apartemen sederhana seperti ini bukan aib, dan masih
lebih baik dari pada tinggal di bedeng-bedeng di pinggir kali secara illegal.
Ini akan mendukung konsep pembangunan kota tanpa harus menggusur orang miskin,
tapi membantu orang miskin hidup lebih layak.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar